Senin, 19 Mei 2008
Berkelana ke Negeri-negeri Stan
Bairam, Sinterklas, dan Saddam Hussain
Apa hubungannya? Ketiganya ada di Bukhara, kota kuno di barat Uzbekistan, pada perayaan Idul Qurban.
Siapa yang tak kenal nama Bukhara, kota pusat peradaban Islam di Asia Tengah ini? Nama besar Imam Bukhari dan Ibnu Sino tak pernah lepas dari taburan masjid dan madrasah di kota kuno ini. Tak salah memang jika saya datang ke Bukhara untuk merayakan Idul Kurban.
"Jangan lupa besok, datang ke rumah ya. Besok, bairam," kata seorang nenek Tajik penjual pakaian tradisional di salah satu bangunan kuno.
Bairam, dalam bahasa Tajik dan Uzbek, artinya perayaan. Segala macam perayaan besar bisa disebut bairam. Belakangan ini memang banyak perayaan. Idul Kurban datang hampir bersamaan dengan Tahun Baru. Dalam sekejap harga angkutan naik tak terkira.
Saya datang ke Masjid Kalon, masjid besar Bukhara, pagi-pagi buta. Semalaman salju mengguyur kota ini, menyelimuti semua permukaan tanah dengan lapisan putih bersih. Gedung-gedung kuno yang sambung menyambung di seluruh Bukhara seolah menggiring saya ke masa lalu. Berdiri di depan Masjid Kalon yang gagah saya terpukau oleh keagungannya yang terpancar dalam keheningan. Dalam keheningan subuh ini, di bawah rintik-rintik salju, saya membayangkan Imam Bukhari dan Ibnu Sina sedang menuntut ilmu.
Masjid masih sepi. Para jemaah belum datang. Muhammad mengajak saya menunggu di ruang jaga petugas. Muhammad adalah putra dari Imam besar Bukhara. Ayahnya, Abdul Ghafur, pernah ke Indonesia beberapa tahun silam. Tak heran orang Indonesia langsung disambut dengan penuh keakraban di Masjid Bukhara ini. Di ruangan itu ada meja panjang. Anak-anak Imam, murid-murid madrasah, dan petugas masjid berkumpul, menghangatkan tubuh di samping samovar (penghangat ruangan), sambil menyeruput teh hijau panas-panas.
Langit masih gelap ketika jamaah mulai berdatangan. Denah masjid ini berbentuk kotak persegi, di bagian tengahnya ada pelataran luas yang ditumbuhi beberapa pohon tua. Putih bersih, es dan salju melapisi lapangan.
"Nanti para umat juga sembahyang di halaman," kata Muhammad, "di atas salju." Cahaya bermacam-macam warna memancar dari bangunan masjid dan menara tinggi. Damai dan menyejukkan.
Pukul delapan, perlahan-lahan langit menyemburatkan terang. Langit kelabu menggelayut, menambah dinginnya pekarangan berlapis salju. Tetapi dingin tidak mengurungkan niat ribuan orang yang datang ke masjid besar ini untuk bersembahyang. Pria-pria mengenakan chapan panjang, jubah tebal tradisi orang Tajik dan Uzbek. Ada yang polos berwarna gelap, ada pula dengan warna-warna membujur vertikal mengingatkan saya pada hikayat Nasruddin. Kakek-kakek memakai doppi, topi hitam kecil dari karton tebal, yang bertengger miring di sudut kepala. Tetapi kebanyakan para pria ini mengenakan topi musim dingin, hangat menutup telinga.
Tak terlihat perempuan sama sekali. Seperti kebanyakan negara-negara Asia Selatan, perempuan jarang sembahyang di masjid. Koridor masjid penuh dengan umat, yang kebanyakan datang dengan membawa sajadahnya masing-masing. Sudah tidak ada tempat lagi bagi jemaah yang terus berdatangan, selain halaman masjid yang dibungkus salju. Petugas masjid mulai menggelar matras tebal, bersaf-saf. Perlahan-lahan matahari mulai menyemburatkan cahaya pagi, dan masjid ini berkilau seperti emas di tengah putihnya padang salju.
Allahuakbar.... Allahuakbar ....
Hening menyelimuti pelataran ini. Ribuan umat serempak bersujud dan berdiri. Dingin yang menusuk tulang tidak mengganggu kekhusyukan beribadah di salah satu tempat paling suci bagi Muslim dunia.
Allahuakbar .... Allahuakbar...
Saya diselimuti keharuan yang luar biasa menyaksikan ribuan orang yang terpekur di hadapan Yang Maha Kuasa.
"Eid mobarak! Bairam mobarak!"
Salat Eid berakhir dengan saling merangkul penuh tawa keceriaan. Perayaan eid sudah datang. Bairam yang penuh kegembiraan akan dimulai. Ribuan orang memenuhi pekarangan masjid, sibuk mengucapkan selamat kepada rekan-rekan. Ramai namun hangat, terlepas dari dinginnya bulan Desember. Saya malah hampir meneteskan air liur, membayangkan lezatnya makanan yang terhidang di meja-meja, dari kambing dan domba yang akan disembelih di hari Kurban Hayit ini.
"Avgustin aka, Avgustin aka, ayo ke rumahku," kata si kecil Omid, bocah sebelas tahun, yang dengan penuh semangat menyeret saya, "di rumah bairam. Ayo... ayo... itu ayah ada di sana." Aka, dalam bahasa Tajik dan Uzbek, artinya kakak.
Saya mengikuti Omid dan bapaknya, menerobos kerumunan ribuan orang di masjid, menuju rumah di sebuah gang kecil di belakang benteng kuno Arg. Si ibu sudah menunggu di sana. Kami minum dua cangkir teh, sebelum berangkat dengan mobil ke rumah familinya di pinggir kota Bukhara.
Omid berlari-lari senang, sehabis membantu ayahnya menyembelih kambing-kambing. Si ibu dan wanita-wanita lain sibuk menyiapkan bumbu-bumbu. Di atas kepala Omid bertengger sebuah doppi hitam kecil, membuat wajahnya semakin manis. Bocah ini kemudian memakai chapan ungu milik ayahnya, juga telpek – topinya orang Turkmen yang mirip rambut kribo Ahmad Albar.
Omid suka sekali difoto. Sehabis puas berpose dengan berbagai macam pakaian tradisional, difoto waktu bersalat, juga sambil membaca Al-Qur'an, kini ia minta difoto dengan pohon natal.
Pohon natal?
"Bukan. Ini pohon tahun baru!" kata si bocah kesal waktu saya bilang itu pohon natal.
Tetapi di mata saya tak ada bedanya. Pohon cemara kecil dari plastik di sudut ruang tamu, dengan lampu berkelap-kelip setelah kabelnya dicolokkan. Tak kurang juga pernak-pernik Sinterklas dan bintang majus. Si bocah super aktif ini menjadi lebih super lagi ketika berlari-lari ke mana-mana sambil membawa tongkat Sinterklas, mirip penyihir cilik yang kegirangan tiada kepalang.
Pohon natal adalah pemandangan biasa di negeri-negeri Stan menjelang datangnya tahun baru. Mereka memang tidak merayakan natal, apalagi natalnya orang Rusia itu baru datang 7 Januari. Tetapi orang-orang Eropa memperkenalkan kebiasaan merayakan Tahun Baru, lengkap dengan pohon natalnya, yang sama sekali bukan perayaan di Asia Tengah seratus tahun silam. Sekarang pohon natal menjadi ornamen wajib di penghujung tahun di semua negeri Stan, bahkan di keluarga yang sangat Islami seperti keluarga Omid di kota suci Bukhara ini. Saya jadi tersenyum sendiri melihat doppi Uzbek yang mirip kopiah itu berpadu dengan tongkat Sinterklas.
Santapan bairam yang sudah lama ditunggu-tunggu, terhidang di meja. Kambing-kambing malang yang mengembik penuh iba itu kini sudah disulap menjadi sepiring besar daging kabab disiram bumbu hitam. Keluarga besar Omid duduk mengitari meja makan. Ayah membagi-bagi irisan roti yang disobek-sobek, ibu-ibu menyiapkan mangkuk dan gelas, kami mengawali bersantap dengan bismillah.
Tiba-tiba televisi berteriak-teriak, mengabarkan kematian Saddam Hussein, mantan presiden Irak, yang dieksekusi tepat ketika umat Muslim dunia sedang merayakan Idul Kurban. Kemuraman seketika menyeruak. Mengapa harus hari ini? Mengapa sang presiden harus disembelih dalam waktu yang bersamaan dengan kambing-kambing kurban? Tetapi tak lama juga, karena pesta bairam masih belum usai. Bahkan vodka pun masih belum dituang ke mangkuk-mangkuk, yang akan menambah meriahnya pesta Idul Kurban.
Bairam, ribuan orang sembahyang di mesjid kuno, darah kambing, kabab dan vodka, pohon natal dan Sinterklas, kematian mendadak Saddam Hussein, semuanya campur aduk dalam adonan perayaan Idul Kurban di Bukhara, di penghujung tahun 2006.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar